Monday, December 31, 2012

KALEIDOSKOP 2012: TRANSPORTASI


Compact_kapal AGAK telat dari jadwal konferensi pers, sang menteri baru saja tiba sekitar pukul 10 pagi lewat 15 menit, Kamis (20/12). Ruang Mataram Kementerian Perhubungan mulai bergairah setelah Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan tiba bersama jajaran eselon I.

Dia lantas menjelaskan realisasi anggaran sepanjang tahun ini tak beda jauh dengan 2 tahun lalu. Pada tahun ini, Kemenhub mengajukan anggaran Rp45,5 triliun, tapi pagu definitif hanya Rp28,1 triliun. Sisanya, Mengindaan perlu memutar otak bagaimana cara terbaik menstimulus skema kerja sama dengan swasta.

Kinerja Kemenhub tahun ini memang berjalan sesuai dengan program kerja yang telah ditetapkan meski ada noktah yang perlu dibenahi. Kemenhub juga membangun sedikitnya 109 pelabuhan, mayoritas pelabuhan kecil di Indonesia

Namun, semua itu rasanya belum cukup. Beberapa program kerja masih belum tuntas. Sedikitnya terdapat lima poin yang menjadi pekerjaan rumah bagi Kemenhub di sektor kelautan pada tahun depan.

Pertama, pembentukan Badan Penjagaan Laut dan Pantai/BPLP atau Sea and Coast Guard. Sampai saat ini rancangan peraturan pemerintah (RPP) masih mengendap di Menko Polhukam.

Ada apa apa ini? Padahal publik tahu, betapa badan ini sangat penting dan strategis, bukan hanya untuk pengamanan perairan tetapi juga memangkas ‘raja—raja kecil’ di laut yang menggerogoti pelayaran Merah Putih. Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) mencatat Rp5,5 triliun per tahun habis digerogoti pungutan liar.

Di laut, ada KPLP—kesatuan penjagaan laut dan pantai, yang sebetulnya punya wewenang, tetapi ada juga Polri (polisi perairan), Bea dan Cukai, serta TNI Angkatan Laut. Inilah yang menjadi pemicu biaya tinggi di laut selain juga di pelabuhan. Ada tumpang tindih kewenangan penegakan aturan di laut.

Undang-Undang (UU) No. 17/ 2008 tentang Pelayaran mengamatkan pembentukan badan tersebut dengan batas waktu 3 tahun setelah aturan itu keluar yakni pada 2011. Patut diduga, penyebab kebuntuan ialah UU itu itu menabrak banyak beleid lain seperti UU TNI, UU Kepolisian, UU Bea dan Cukai, dan lainnya sehingga terlalu banyak badan negara yang merasa berhak dan ingin membentuk badan BPLP berdasarkan UU sektoral.

Kedua, infrastruktur pelabuhan. Pemerintah memang membangun sejumlah pelabuhan tetapi nyatanya belum sesuai dengan harapan, lagi—lagi terbentur anggaran. Pusat Kajian Kemitraan dan Pelayanan Jasa Transportasi Kemenhub mencatat lebih dari 300 pelabuhan belum punya sistem navigasi lengkap.

Pekerjaan rumah
INFRASTRUKTUR yang belum terhubung dengan sarana transportasi misalnya dengan rel kereta api juga semestinya menjadi pekerjaan rumah bagi Kemenhub.

Mesti ada sinergi mengingat Ditjen Pereketaapian juga tengah menghubungkan rel ganda dengan pelabuhan. Soal  infrastruktur ini, INSA juga berkali-kali menegaskan pemerintah mesti segera membenahi infrastruktur dan menyediakan fasilitas yang seragam antartiap pelabuhan terutama karena pemerintah akan menerapkan sistem Pendulum Nusantara tahun depan.

Jangan sampai Pendulum Nusantara yang menghubungkan pelabuhan besar mulai dari Sumatra hingga Papua guna menciptakan koridor utama kelautan atau main sea corridor hanya isapan jempol.

Perlu dicatat bahwa dengan adanya pendulum, antara Pelabuhan Sorong tentunya harus sama fasilitasnya dengan Jakarta, Belawan begitu pula dengan kedalaman dermaganya.

Di luar itu, pelaku usaha juga tengah menunggu realisasinya penghapusan PPN atas jasa bongkar muat kargo/kontainer untuk jalur pelayaran internasional dari 10% menjadi nihil, sudah disetujui Kementerian Keuangan tapi masih tertahan birokrasi.

Ketiga, cabotage dan beyond cabotage. Setelah asas cabotage selesai, dilanjutkan dengan beyond cabotage yang merupakan kegiatan angkutan luar negeri harus menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak Indonesia.

Target kapal jenis pengeboran misalnya jack up rig, semi submersible, tender assis ini paling lambat Desember 2015.

Adapun tahun ini, kapal jenis penunjang operasi lepas pantai atau offshore di antaranya anchor handling tug supply (AHTS), platform supply vessel (PSV), dinamic position (DP2/DP3), dan diving support vessel (DSV) harus berbendera Indonesia.

Namun, bisa saja tenggat 2015 molor karena sampai saat ini belum banyak perusahaan pelayaran nasional yang mampu membeli kapal untuk pengeboran offshore, baru sebatas kapal pendukung.

Kemenhub juga mesti memonitor. Banyak pihak mengkhawatirkan asas cabotage hanya setengah sebab kapal memang sudah Merah Putih tapi awaknya barangkali dari Kamboja atau Myanmar karena awak lokal ebih suka gaji di perusahaan pelayaran asing.

Keempat, aspek keselamatan pelayaran nasional dan komitmen untuk meratifikasi ketentuan internasional. Peristiwa tabrakan kapal tanker Norgas Cathinka dengan kapal motor Bahuga Jaya medio September bisa jadi cermin an evalusi untuk meningkat kan keselamatan di laut.

Indonesia juga belum meratifikasi konvensi internasional yakni ship manning agency dan Maritime Labour Convention atau MLC 2006 atau konvensi pekerja maritim.

Kelima, kurangnya kebijakan terobosan dari Kemenhub. Misalnya penempatan modal minimum disetor [bukan besaran kepemilikan] atau kewajiban merger.

Penting, mengingat bisnis pelayaran butuh dana besar, jika mudah tumbuh dan ambruk, itu menjadi preseden buruk. Tahun ini pemegang SIUPAL mencapai 2.248 perusahaan per Oktober.

Terobosan yang kurang itu membuat pelaku atau operator pelabuhan juga kurang gesit. Dari seluruh persoalan itu, Menhub menggarisbawahi soal sea and coast guard. Mantan Gubernur Sulut tak menyangkal dan menyadari lamanya proses itu tetapi pemerintah sudah mati—matian, katanya.

“Bahkan secara pribadi saya ketemu dengan Menko Polhukam, kami sudah merendah, dalam pikiran saya, lembaga ini harus ada dulu,” katanya.

Kendala terbesar memang berada di lapangan padahal selama ini pemerintah juga mendapatkan keluhan yang sama dari pelayaran lantaran semua institusi ikut—ikutan menangkap kapal.

Leon Muhamad, Sekjen Kemenhub Plt Dirjen Perhu bungan Laut, menegaskan RPP itu sudah dilaporkan dan posisinya ada di Menko Polhukam. Pemerintah berjanji tidak lama lagi.

Sangat mengherankan jika Kemenhub sebagai regulator UU Pelayaran tak kunjung aktif mendorong kebuntuan terbitnya PP tentang badan itu, karena seharusnya sudah terbit Mei tahun lalu. Belum adanya peraturan turunan dari UU itu membuat beleid itu layaknya UU ompong, tak bertaji.

Keselamatan dan keamanan pelayaran adalah tanggung jawab pemerintah, seberapa terjal kesulitan birokrasi itu menghadang jikalau ada kemauan dari pemerintah, tentunya ada jalan. Mari menunggu janji mantan Pangdam VII/Trikora ini. (Bsi)

No comments: